tugas project ( filza sigit pratama, aji wahid p, nugrah sentana)



Pokok Pikiran Tentang Aspek Kesejahteraan Sosial Ekonomi Dalam Kebijaksanaan Kependudukan
Apakah kita hendak mengembangkan suatu kebijaksanaan kependudukan yang terpadu, maka kita perlu meninjau dan melibatkan semua aspek yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung perilaku demografis, termasuk di dalamnya aspek yang penting dewasa ini yaitu aspek ekonomi. Namun sebelum kita mempergunakan “senjata” aspek ekonomi dalam mempengaruhi perilaku manusia, kita perlu mengetahui dan mempelajari secara mendalam segi-segi positif, kelemahan maupun ketangguhan serta kemungkinan dipakainya kebijaksanaan tersebut secara berhasil guna dan berdaya guna dalam mencapai tujuan-tujuan kependudukan.
Semua ini tentunya, kalau bertitik tolak pada asumsi bahwa masalah kependudukan di Indonesia adalah masalah serius, yang memerlukan berbagai pendekatan tidak saja untuk memperkuat dan mendukung usaha-usaha serta hasil-hasil yang telah dicapai selama ini dalam bidang kependudukan dan keluarga berencana, tetapi juga untuk merangsang tercapainya tujuan-tujuan pembangunan lainnya secara menyeluruh, serasi, selaras, dan seimbang.
Kejernihan dalan berfikir, kepekaan dan keterbukaan perasaan serta pandangan kedepan yang luas dan berhati-hati perlu kita jadikan titik tolak sebelum kita memilih alternatif-alternatif kebijaksanaan yang akan kita terapkan. Demikian pula dalam memilih alternatif yang manapun kita perlu meninjaunya dengan situasi dan kondisi serta tata budaya masyarakat Indonesia. Unutk itu tinjauan dari berbagai ahli secara multi-disipliner masih diperlukan, sebelum alternatif kebijaksanaan tadi ingin dikembangkan atau diterapkan. Disamping itu, para ahli ekonomi biasanya membedakan kebijaksanaan ekonomi dalam dua hal, yaitu kebijaksanaan ekonomi makro dan kebijaksanaan mikro. Kedua hal tersebut akan di bicarakan disini, tetapi penekanan diarahkan kepada kebijaksanaan mikro yang pada saat ini lebih mempunyai peran dalam mempengaruhi variabel demografi di Indonesia.
Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Dalam hal kita membicarakan kebijaksanaan ekonomi secara makro, biasanya hal ini mencakup baik kebijaksanaan fiskal, yaitu melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN,) dan kebijaksanan moneter, melalui sistem perbankan. Secara khusus kebijaksanan melalui jalur bank tidak akan dibahas dalam kebijaksanaan makro, melainkan dalam kebijaksanaan mikro, karena tindakan moneter yang relavan dan efektif dalam hal ini adalah yang bersifat selektif dan mikro sifatnya.
Kebijaksanaan dalam hal pembinaan kredit misalnya, pola pengembangan dan perluasan kegiatan ini sedikit banyak akan mempengaruhi aspek-aspek demografi, mekipun tentu saja tidak secara langsung. Namun hal ini tidak berarti kita dapat begitu saja menggunakan kebijaksanaan perkreditan ini untuk mendukung tercapainya tujuan kependudukan, karena dalam sitem perbankan ada kondisi atau syarat yang perlu dipenuhi untuk menjamin tidak terjadinya penyimpangan dalam sistem bank itu sendiri, secara luas hal ini akan kita bicarakan dalam hal kebijaksanaan ekonomi mikro.
Dalam hal kebijaksanaan fiskal melalui APBN kita dapat mininjaunya baik dari neraca pendapatan, kita ketahui bahwa pendapatan negara dalam hal ini adalah berdasar dari pajak langsung maupun pajak pajak tidak langsung, serta pajak dari sumber alamiah, seperti minyak yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara terpenting.
Pajak-pajak dari sumber alamiah ini sangat potensi sekali dan merupakan alat terpenting guna mengontrol tingkat dan bentuk pengeksplotasian sumber-sumber alamiah itu sendiri, dan juga bersamaan dengan pajak tanah bisa dipergunakan sebagai bantuan untuk suatu kebijaksanaan kependudukan dan lingkungan hidup yang terpadu. Suatu contoh yang jelas dapat dilihat di mana pajak terhadap perusahan kayu dapat dipergunakan untuk menjamin pelaksanaan sistem reboisasi (penanaman hutan kembali).
Pajak langsung adalah pajak terhadap pendapatan perorangan seperti upah, gaji dan pajak atas laba suatu perusahaan (pajak perusahaan). Pajak atas pendapatan perorangan akan memberikan suatu kesempatan bagi pemerintah untuk menerapkan sistem intensif dan dis-intensif yang dapat mempengaruhi jumlah anak yang akan dipunyai oleh suatu keluarga. Tetapi hal ini akan lebih efektif lagi apabila proporsi warga negara yang wajib membayar pajak cukup tinggi. Di Indonesia jumlah warga negara yang wajib membayar jumlanya relatif sangat kecil sekali, maka pengaruhnya terhadap tingkat fertilitas masih diragukan, setidak-tidaknya dalam waktu ini. Hal ini tentu saja tidak berarti kita harus berhenti untuk tidak memikirkan dimasa-masa akan datang, terutama apabila kesadaran waijb pajak telah membudaya pada masyarakat kita.
Pajak perusahaan dapat mendukung keberhasilan program keluarga berencana dengan memberikan kelonggaran pajak kepada perusahaan yang ikut membantu tercapainya tujuan keluarga berencana di perusahaan tersebut, contohnya dengan pemberian intensif kepada para pekerja (buruh) oleh perusahaan agar mereka ikut ber-KB. Atau perusahaan-perusahaaan tersebut dapat membantu tercapainya tujuan dari kependudukan di bidang penyebaran penduduk dengan cara mengurangi pajak obligasi dari perusahan yang ingin menempatkan diri di daerah lokasi transmigrasi. Tentu saja untuk pelaksanaan kebijaksanaan ini perlu didukung oleh suatu administrasi perpajakan yang bersih agar perusahaan benar-benar dapat merasakan kebijaksanaan tersebut sebagai satu-satunya intensif dan karenanya perusahaan tidak perlu mencari cara lain yang tidak sehat dalam usaha mengarungi kewajiban-kewajiban membayar pajak.
Pajak tak langsung, adalah pajak penjualan/cukai dan bea masuk yang dikumpulkan dan diberikan oleh pedagang kepada pemerintah. Kebijaksanaan bea masuk dalam rangkaian proteksionisme industri dalam negeri misalnya, secara tidak langsung akan memberikan kesempatan kerja yang lebih luas. Namun kebijaksanaan ini agar dapat efektif perlu diimbangi dengan program peningkatan keterampilan untuk mendukung kebijkasanaan tersebut. Contoh lain, yaitu pembatasan bea masuk terhadap alat-alat kontrasepsi maupun alat-alat lain yang ditentukan dalam rangka pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana. Demikian pula pajak terhadap kegiatan promosi KB seperti cukai iklan perlu di bebaskan atau diberikan potongan pajak/cukai secara maksimal.
Pada sisi kebijaksanaan yang lain yaitu yang menyangkut pengeluaran atau belanja negara, pemerintah Indonesia menganut sistem angaran belanja berimbang dan oleh karenanya tidak mungkin mempergunakan sistem anggaran defisit guna melaksanakan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Namun demikian, dalam tingkat pengeluaran tertentu tidak dapat melihat alokasi sumber-sumber dana atau anggaran yang disediakan untuk kegiatan kependudukan sebagai suatu ukuran relatif dari penetapan prioritas pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaannya.
Apabila kebijaksanaan kependudukan benar-benar ingin diarahkan secara menyeluruh dan terpadu dengan kegiatan-kegiatan pembangnan lainnya, maka beberapa kegiatan kependudukan akan muncul pada kegiatan sektor lain yang tentunya kebutuhan anggaran akan dimasukan dan menjadi bagian angaran departemen yang bersangkutan, apakah ditingkat pusat maupun daerah atau regional. Besarnya alokasi anggaran yang disediakan tentu saja tergantung dari kemampuan instansi/sektor atau departemen tersebut menjabarkan kegiatan operasionalnya secara jelas dan meyakinkan, baik dalam menetapkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai maupun ukuran-ukuran keberhasilannya.
Sehubung dengan hal diatas, maka APBN dapat merupakan suatu alat dari suatu kebijaksanaan kependudukan secara makro. Tujuan dari kebijaksanaan ini adalah untuk membuat suatu pola dari pengeluaran pemerintah dan pola kegiatan-kegiatan pemerintah di bidang ekonomi yang diarahkan untuk tercapai tujuan dari kependudukan sebagai program yang diintegritaskan. Pada saat yang bersamaan pola dan pengaruh dari tindakan pendapatan tersebut haruslah konsisten dan dapat membantu terlaksananya pelaksanaan kebijaksanaan kependudukan.
Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Sebagaimana kita ketahui bersama dalam kebijaksanaan ekonomi mikro, pemerintah mengembangkan berbagai program dengan kegiatan-kegiatan yang diharapkan mampu merangsang pertumbuhan ekonomi yang sehat pada berbagai lapisan atau kelompok masyarakat, termasuk usaha peningkatan produktivitas dan pendapatan keluarga. Dalam kaitan ini kita kenal berbagai paket bantuan, baik yang berupa pengembangan dan pembinaan ketrampilan, bimbingan manajemen maupun kredit seperti kredit intervensi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), BINAS dan lain-lain. Apabila kita kaji secara mendalam dasar dari kebijaksanaan tersebut jelas tujuannya bukanlah ekonomi semata-mata, melainkan lebih daripada itu, yakni dalam kerangka peningkatan mutu atau kualitas hidup penduduk. Bertitik tolak pada asumsi atau anggapan tersebut, serta melihat bahwa ada kesamaan tugas dengan program kependudukan dan keluarga berencana, yaitu pelembagaan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera, maka ada kemungkinan untuk mengintegritaskan kedua program tersebut, meskipun tentu saja harus selektif dengan memperhatikan agar tidak terjadi distori atau gangguan/penyimpangan terhadap kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh misalnya, kuranglah tepat apabila kita ingin memasukan kriteria kesertaan KB terhadap program yang diarahkan kepada pemberian intensif kepada petani yang dianggap berjasa menemukan teknologi baru dalam pengolahan tanah. Demikian pula adalah kurang bijaksana apabila kita ingin menggalakkan program peningkatan produksi pada perusahaan tetapi mengharuskan perusahaan tersebut membayar intensif kepada karyawan mereka yang ber-KB. Jelas hal ini kurang tepat karena tingkat produktivitas dari perusahaan tidaklah semata-mata disebabkan oleh keikutan atau tidaknya karyawan menjadi peserta (akseptor) keluarga berencana. Apabila kebijaksanaan ini ingin di terapkan, maka hal ini hanya akan mengurangi perusahaan dan bagi pengusaha hal ini merupakan interference (campur tangan) dari pemerintah yang akan merugikan atau mengganggu bidang usaha mereka. Dan dengan demikian tingkat kerjasama pemerintah dengan pengusaha cenderung akan menurun.
Dari contoh kasus-kasus diatas, perlu kiranya bagi kita untuk lebih berhati-hati apabila kita hendak mengintegritaskan aspek-aspek kebijaksanaan ekonomi dalam kebijaksanaan kependudukan, karena meskipun antara keduanya ada kesamaan tujuan secara umum, tetapi masing-masing mempunyai tujuan spesifik yang mungkin komponen-komponennya tidak mungkin dikaitkan begitu saja satu dengan lainnya. Apa yang kiranya diharapkan dalam suatu kebijaksanaan terpadu adalah bahwa kebijaksanaan yang satu dapat memperkuat kebijaksanaan yang lain dan bukan sebaliknya saling mengganggu atau mengakibatkan distorsi terhadap kebijaksanaan yang ada.
Kebutuhan Teori Ekonomi Eksplisit
Bila kita sedang berhadapan dengan variabel-variabel ekonomi seperti konsumsi, produktivitas dan pengaruh-pengaruhnya terhadap variabel-variabel demografis seperti fertilitas, kematian dan mobilitas, maka kita harus mengikuti suatu teori ekonomi eksplisit guna menguraikan intervensi-intervensi kita di sektor ekonomi tersebut. Dengan cara demikian diharapkan kita dapat memberikan gambaran ide yang lebih jelas terhadap kaitan sebab dan akibat dari variabel-variabel yang akan kita cari untuk kita pengaruhi. Sebagai contoh : apakah kita tahu benar bahwa dengan peningkatan pendapatan dari suatu kelompok tertentu kita dapat meningkatkan gizi dari anak dan akan mengurangi kematian ? Hal ini tergantung pada bekal ilmu pengetahuan yang kita miliki yang mampu untuk mengukur atau meneliti pola pengeluaran/pembelajaran dan pola konsumsi yang terdapat pada masyarakat tersebut.
Ada kemungkinan bahwa dengan tambahan pendapatan (income) akan dapat meningkatkan daya beli masyarakat/individu terhadap barang-barang yang kurang bermutu atau kurang bergizi seperti Ajinomoto daripada makanan bergizi lainnya. Apabila kita berhadapan dengan Menteri Bidang Ekonomi, misalnya, maka kita harus mampu menyampaikan argumentasi saran kita dalam bahasa yang mereka dapat mengerti dan kita harus mampu memberikan penjelasan-penjelasan yang meyakinkan tentang hubungan sebab dan akibat antara variabel-variabel ekonomi dengan variabel-variabel demografi yang ingin di cakup, dan demikian pula dengan penjelasan-penjelasan tentang faedah atau manfaat yang diharapkan dari kebijaksanaan yang ingin dipengaruhi dan di kembangkan.
Beberapa Kebijaksanaan Yang Secara Selektif Mungkin Untuk Dipengaruhi
Sebelum membuat saran-saran yang lebih terperinci perlu dibedakan secara nyata antara aspek pribadi dengan aspek sosial dari suatu kegiatan ekonomi. Ahli-ahli ekonomi membedakan biaya/pengeluaran dengan faedah/keuntungan yang bersifat pribadi atau sosial. Biaya pribadi dalam suatu kegiatan adalah biaya yang dikeluarkan oleh setiap individu/perorangan yang terlibat didalam kegiatan itu. Biaya sosial adalah biaya yang mungkin lebih besar dari biaya pribadi, karena biaya untuk suatu kegiatan tertentu banyak melibatkan anggota masyarakat untuk membiayainya. Bila kita mengendarai mobil pribadi untuk pulang kerumah dari kantor, maka biaya yang dikeluarkan selama pulang kerumah itu adalah biaya pribadi. Bila mobil kita tersebut knalpotnya rusak, maka asap yang dikeluarkan akan menambah pencemaran udara atau polusi, dan akan meningkatkan biaya pengeluaran untuk membeli obat tetes mata bagi masyarakat yang berada disepanjang jalan tersebut, dan disamping itu hal ini juga akan mengakibatkan masalah kesehatan masyarakat yang berdomisili didaerah tersebut.
Dengan cara yang sama seseorang boleh mempergunakan biaya sosial untuk menggambarkan biaya dari prasarana pemerintah untuk umum yang dimasukan dalam APBN dan juga biaya-biaya untuk kesehatan masyarakat lainnya yang ada. Faedah-faedah pribadi akan dapat diterima atau diperoleh setiap individu yang ikut dalam suatu kegiatan, sedangkan faedah sosial tidak saja diperdapat dari faedah-faedah pribadi saja melainkan juga dari faedah tambahan anggota masyarakat lainnya. Sebagai contoh : Suatu keluarga yang ingin memasukan anaknya ke sebuah sekolah dengan biaya pribadi maka pada suatu saat nantinya keluarga tersebut (khususnya si-anak) akan memperoleh faedah pribadi di bidang pendidikan seperti dapat membaca, menulis, berhitung dan juga berkesempatan kerja yang kelak kemudian hari akan terbuka.
Dari sudut pandang sosial, biaya sosial adalah biaya keseluruhan yang dipergunakan untuk pembangunan gedung sekolah, misalnya, baik oleh pemerintah maupun swasta, berikut dengan biaya yang dikeluarkan untuk memelihara dan mengoperasikan sekolah tersebut. Faedah sosial yang dimasukkan dalam kategori ini adalah meningkatkan derajat kesehatan dan tingkat produktivitas akibat tersedianya tenaga-tenaga terdidik yang diciptakan dengan adanya prasarana tersebut.
Apabila tingkat fertilitas cenderung naik akibat adanya proses pendidikan tersebut, maka kenaikan itu merupakan biaya sosial dalam pendidikan. Tetapi sebaliknya kalau tingkat derajat kesehatan pada umumnya cenderung naik akibat tersedianya pendidikan tersebut, maka kenaikan tadi merupakan faedah sosial.
Kebijaksanaan Yang Berkaitan Dengan Investasi Sumber Daya Manusia
Sejalan dengan apa yang sering pada akhir-akhir ini dikemukakan oleh Bapak Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengenai arti pentingnya usaha untuk meningkatkan kualitas penduduk sebagai bagian dari kebijaksanaan program kependudukan secara nasional, maka disarankan agar dapat dikembangkan suatu kebijaksanaan oleh pemerintah di bidang investasi sumber daya manusia melalui pendidikan yang dikaitkan dalam rangkaian dukungan program kependudukan dan keluarga berencana.
Dalam hal ini kita perlu mengajak dan meyakinkan para orang tua untuk menanamkan investasi mereka secara lebih terarah pada kualitas atau mutu daripada sekedar kuantitas atau jumlah/banyaknya anak. Untuk mengajak para orang tua turut berpatisipasi dalam program ini, pemerintah perlu merumuskan langkah atau cara untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan:
a.         Perlunya penekanan atau mengurangi belanja pribadi.
b.        Perlunya mengurangi resiko dalam hal pelaksanaan investasi terhadap kualitas anak ini.
c.         Menyediakan fasilitas atau prasarana yang diperlukan sehingga orang tua dapat turut serta dalam program investasi anak ini
d.        Mengusahakan suatu pertumbuhan ekonomi yang sehat, di mana investasi yang ditanamkan tadi akan memberikan hasil yang optimal.
Investasi terhadap kualitas anak ini dapat meliputi berbagai aspek seperti, kesehatan, gizi dan pendidikan. Dan hal ini dapat diintegritaskan dengan berbagai program yang sekarang ini telah banyak dilaksanakan baik oleh BKKBN maupun departemen atau instansi lain baik pemerintah maupun non-pemerintah, seperti usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), Paket Balita, Kesehatan Dasar, dan lain-lain. Berdasarkan pertimbangan logika, program tersebut cukup meyakinkan baik ditinjau dari sudut ekonomi, sosiologis maupun medis.
Penurunan angka kematian anak akan menyebabkan meningkatnya harapan untuk hidup anak, dan hal itu tentu saja akan merubah sikap dan tingkah laku orang tua dalam hal nilai anak, yaitu dengan memberikan perhatian secara lebih pada kualitas anak mereka. Dengan demikian pemerintah dapat pula mengurangi biaya perawatan/pelayanan kesehatan yang mungkin akan banyak dikeluarkan seandainya kualitas atau derajat kesehatan anak-anak itu buruk adanya.
Demikian pula apabila kematian anak dan bayi secara berangsur-angsur dapat ditekan atau dikurangi, maka hal itu akam mempertebal keyakinan orang tua untuk mengadopsi nilai keluarga kecil secara lestari dan berlanjut. Dengan uraian-uraian tersebut di atas tampak adanya suatu era baru dalam cakrawala kebijaksanaan kependudukan yang mungkin dapat kita gali dan kembangkan dalam bentuk inovasi-inovasi baru dalam penggarapan program kependudukan dan keluarga berencana, khusunya yang menyangkut pengembangan sumber daya manusia
Usaha Untuk Mengurangi Biaya Pribadi di Bidang Pendidikan
Pendidikan formal dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan di capainya maksud diatas. Pada dewasa ini atau setidak-tidaknya dimasa yang akan datang ini, para orang tua mulai merasa yakin bahwa kualitas anak mereka akan banyak tergantung dari tingkat pendidikan yang dicapai oleh anak-anak mereka. Oleh karena itu, sebagian besar mereka ingin agar anak-anak mereka dapat melanjutkan pendidikan yang setinggi-tingginya.
Dalam rangkaian ini BKKBN tentunya dapat mengambil prakarsa untuk bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyusun program pemberian beasiswa sebagai intensif terhadap peserta KB-Lestari yang atas kesadaran sendiri memutuskan unutk hanya mempunyai dua anak saja.
Secara ekonomis, hal ini akan berarti pengurangan biaya pribadi di bidang pendidikan. Keterangannya adalah sebagai berikut, seperti kita ketahui apabila seseorang anak memasuki sekolah dasar (SD), maka pengeluaran biaya pribadi biasanya adalah untuk membeli buku-buku dan pakaian seragam. Sedangkan pada tingkat-tingkat berikutnya, beban biaya pribadi bertambah dengan biaya uang masuk atau uang pangkal, uang gedung dan lain-lainnya yang biasa dirasakan amat berat oleh para orang tua, khususnya mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Dengan makin besar jumlah anak tentu secara kumulatif makin besar pula biaya pribadi yang dikeluarkan orang tua untuk membiayai kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. Dalam keadaan tertentu dimana keuangan orang tua tidak memungkinkan maka “drop out” lah anak-anak mereka dari pendidikan yang diikutinya. Hal mana tentu berbeda apabila orang tua tersebut mempunyai anak yang relatif sedikit jumlahnya, mungkin tingkat kelangsuran sekolah mereka masih dapat dijamin, di samping itu mungkin orang tua dapat memanfaatkan sisa biaya pribadi yang tidak jadi dikeluarkan untuk biaya sekolah untuk keperluan lain seperti penyediaan mutu makanan dengan kadar gizi yang lebih baik dan lain-lain kebutuhan yang dipelukan untuk peningkatan kualitas si-anak.
Di sisi lain, dengan makin sedikitnya jumlah anak yang perlu disediakan prasarana sekolah baik oleh pemerintah maupun swasta, akan berarti pengurangan biaya sosial dari penyediaan prasaranan fisik yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk memperbesar faedah-faedah sosial yaitu dengan meningkatkan mutu pendidikan maupun tingkat produktivitas anak didik, yang nota bane merupakan aspek-aspek yang tercakup dalam peningkatan kualitas anak.
Dalam rancangan ini diusulkan agar beasiswa hanya akan diberikan apabila anak kedua telah mulai masuk SMP, hal mana ini berarti adanya jaminan dari yang bersangkutan sebagai peserta KB setidak-tidaknya untuk jangka 13 tahun. Beasiswa dengan sendirinya batal, seandainya orang tua yang bersangkutan ternyata mempunyai anak lagi. Hal ini tentunya sebagai resiko yang perlu diambil, tetapi satidaknya resiko yang minimal karena yang bersangkutan paling tidak mempunyai anak setelah sekurang-kurangnya 13 tahun memakai kontrasepsi.
Yang menarik skema ini bagi pemerintah adalah bahwa tanggung jawab yang diberikan yaitu pembayaran uang sekolah dan lain-lainnya di undur dalam jangka waktu di mana selama waktu itu perancanaan provinsi untuk melengkapi fasilitas dapat dilakukan. Dalam beberapa kasus perjanjian dapat dilanggar, tetapi sesuatu kecenderungan untuk memperlama jangka waktu atau jarak kelahiran merupakan suatu keuntungan sendiri.
Kemungkinan-Kemungkinan Lainnya
Kemungkinan-kemungkinan lain untuk pengembangan kualitas anak ini adalah di mana adanya kemungkinan-kemungkinan tertentu yang dapat di intervensikan kedalam kegiatan ini. Salah satu kemungkinan tersebut adalah penggunaan status akseptor yang terorganisir dalam kelompok sebagai suatu kriteria untuk mendapatkan pinjaman atau kredit dari organisasi yang disponsori oleh pemerintah atau bank. Banyak program-program (seperti BIMAS) yang tercakup dalam kegiatan sistem perkreditan tersebut yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan peningkatan produktivitas individu atau kelompok. Dalam beberapa kasus dan berdasarkan sistem yang ada, masyarakat tidak dapat secara aktif menyerahkan jaminan dari pinjaman yang dimintakan kepada bank. Oleh karena itu pimpinan bank dapat mempertimbangkan sistem usulan pinjaman usaha produktivitas tersebut berdasarkan kriteria tentang keikutsertaan ber-KB dan melihat kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok sebagai persyaratan pinjaman.
Bila bank-bank atau instansi-instansi yang memberikan kredit itu dapat diajak untuk memasukan status akseptor dengan organisasi kelompoknya sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit kelayakan tersebut, maka hal ini akan merupakan suatu cara yang dapat memberikan pengaruh positif kepada masyarakat untuk ber-KB.
Program-program perkreditan besar seperti kredit investasi kecil (KIK) dan KMKP dirancang untuk membantu pengusaha pribumi dan untuk menciptakan lapangan kerja. Salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman tersebut dapat dimasukan tentang keadaan pekerja yang dipekerjakan pada perusahaan yang bersangkutan yaitu pekerja yang sudah mempunyai tingkat minimum dalam KB, dan pekerja yang belum berkeluarga harus dapat dilibatkan dalam pembinaan kegiatan kependudukan.
Pengusaha yang menerima pinjaman harus setuju untuk membantu tercapainya tujuan program kependudukan dan keluarga berencana pada perusahaan. Walaupun demikian hal ini tidaklah akan menyimpang dari tujuan pemberian pinjaman ( yaitu mengsukseskan bantuan terhadap pengusaha-pengusaha pribumi), karena penerimaan KB oleh para pekerja bahkan dapat meningkatlan produktifitas tenaga kerja seperti pengurangan absensi, pemantapan tenaga kerja wanita, serta mengarungi tekanan atau stres di waktu melakukan pekerjaan dan lain sebagainya.
Akhirnya dalam bidang pendidikan ada suatu kemungkinan yaitu pinjaman untuk pendidikan yang bisa diberikan kepada para akseptor KB sebagai salah satu alat untuk menunjang tercapainya pelaksanaan penanaman kualitas anak ini. Disamping itu adalah baik kiranya di dalalam sistem pinjaman proyek peningkatan pendapatan keluarga akseptor yang sedang berjalan di BKKBN dapat dimasukan sistem pinjaman untuk pendidikan tersebut kedalamnya. Bila kita dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat atau kelompok untuk melakukan suatu kegiatan produktivitas seperti dagang kecil-kecilan, mangapa kita tidak dapat mengajak mereka untuk menanamkan kualitas anak ini? Oleh karena itu dengan penanaman modal yang berlanjut mungkin akan dapat dihasilkan atau di tingkatkan pendapatan keluarga pada masa-masa yang akan datang.
Saran terakhir adalah mengenai Pola Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang usaha menciptakan lapangan kerja bagi pekerja umum padat karya musiman, dimana dalam hal ini kriteria KB dapat dimasukkan dalam pembentukan pola dasar tersebut.
Sebagaimana kita ketahui di Indonesia pada saat ini banyak terdapat pekerjaan umum padat karya musiman, terutama di daerah-daerah pedesaan dan di daerah kecamatan rawan ekonomi, yang hanya melakukan kegiatan kerjanya apabila musim panen telah datang. Oleh karena itu dalam pembentukan pola dasar penciptaan lapangan kerja tersebut, kriteria KB dapat dimasukan dengan kata lain mengarahkan penciptaan lapangan kerja ke daerah-daerah yang banyak tenaga kerja padat karya, dan mempunyai prevalensi KB-nya tinggi atau meningkat sebagai intensif bagi masyarakat tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan yang dikemukakan di dalam pengintegrasian program kependudukan dan keluarga berencana di atas dengan program-program pemerintah lainnya tidak akan merupakan suatu distorsi atau penyimpangan dari maksud dan tujuan program itu sendiri.

Komentar